Selasa, 22 Februari 2011

Thomas Aquinas

Thomas Aquinas lahir di desa Aquino, sebuah desa di antara Roccasecca dan Napoli, Italia, pada 25 Nopember 1224. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Aquinas dikirim oleh kedua orang tuanya untuk menjalani pendidikan di sebuah sekolah di pertapaan para rahib Benediktin dari Monte Cassino pada umur lima tahun. Pada tahun 1239 ia mulai kuliah di Universitas Napoli setelah ia tinggal selama sembilan tahun di biara tersebut.

Aquinas bergaul akrab dengan para biarawan Ordo Dominikan di Napoli. Hal ini membuat dia masuk biara ini pada tahun 1244. Namun langkah Aquinas ini tidak disetujui oleh segenap keluarganya, karena mereka menghendaki Aquinas menjadi seorang rahib Benediktin di Monte Cassino. Karena sikap keluarganya itu, pemimpin umum Ordo Dominikan mengirim Aquinas ke Paris, Perancis, untuk belajar teologi, kemudian ke pusat studi Christendom, dan ke Koln. Ia belajar di bawah bimbingan Albertus Agung, seorang Doctor Universalis, selama empat tahun (1248-1252). Upaya Santo Albertus untuk menggunakan filsafat Aristoteles dalam berteologi mempengaruhi arah dan gaya pemikiran Aquinas. Setelah itu, ia kembali ke Universitas Paris untuk melengkapi studi teologi selama empat tahun (1252-1256).

Aquinas disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai Magister Teologi di Universitas Paris selama tiga tahun (1256-1259). Kemudian dia mengajar di beberapa pusat studi teologi di Italia selama sepuluh tahun. Ia juga membantu di lembaga pengadilan kepausan sampai tahun 1268. Ia mendampingi Paus Alexander IV di Anagni (1259-1261), Paus Urbanus IV di Orvieto (1261-1264) dan di Roma (1265-1267), serta Paus Clemens IV di Viterbo (1267-126cool. Pada tahun 1269 dia kembali menjadi profesor teologi untuk kedua kalinya di Universitas Paris. Hal ini dapat terjadi karena permintaan ordonya. Pada tahun 1274 ia diminta untuk mendirikan sekolah teologi di Napoli, Italia.

Pola pikir filosofis Thomas Aquinas tampak dalam dua hal, yaitu metode skolastik dan analisa falsafatinya. Skolastik menjadi ciri khas sistem pendidikan di universitas-universitas Abad Pertengahan, yaitu para biarawan-rohaniwan mengelola dan membina lembaga-lembaga pendidikan. Pada zaman Aquinas tidak ada sistem atau ajaran filsafat yang baku dan seragam. Pengajar di pelbagai sekolah bebas mengekspresikan sudut pandangnya sendiri. Namun masih ada unsur-unsur tertentu yang mempersatukan ciri khas sekolah-sekolah. Unsur-unsur tersebut adalah Lectio (kuliah) dan disputatio (debat dialektis).

Pada saat lectio (kuliah), mahasiswa membaca dan membeberkan isi sebuah teks yang telah ditentukan oleh pengajarnya. Membaca sebuah teks harus sesuai dengan keinginan pengarang, yakni keinginan untuk memahami kekayaan makna kata-kata dan kekayaan terminologis yang terdapat di dalam sebuah teks. Bentuk pendidikan semacam ini mengembangkan teknik penafsiran (hermeneutika). Suasana lectio ini menimbulkan pemahaman yang mendalam terhadap otentisitas gagasan para pemikir.
Metode pembelajarannya dinamai disputatio, yakni metode yang meliputi debat dialektis tentang masalah-masalah yang ditemukan dalam teks. Pengajar menemui para mahasiswa untuk menentukan dan mempertimbangkan argumentasi “pro” dan “kontra” dan merumuskan ke dalam jawaban yang sistematis atas pertanyaan yang diperdebatkan pada saat disputatio. Suasana disputatio ini melatih sikap kritis yang sehat, dan cara berpikir yang otonom.

Aquinas, filsuf sekaligus teolog, melengkapi pandangan Agustinus yang didasari oleh gagasan Plato dan terutama Neo-Platonisme, untuk memahami secara rasional pelbagai iman Kristiani. Sebagai misal, Agustinus berusaha membuat sintesa antara filsafat Yunani (Platonisme dan Neo-Platonisme) sebagai batu tumpuan pertama untuk menuju pengajaran kristianitas. Sedangkan Aquinas menggunakan filsafat Yunani (Aristoteles) sebagai dasar filsafat untuk meluruskan iman Kristiani. Dia melihat faktor ketiga, yakni keberadaan Tuhan, yang dapat menjembatani kebenaran yang dicapai oleh iman maupun akal budi. Maksudnya, di satu pihak keberadaan Tuhan dapat diterima dalam iman, di pihak lain dapat dimengerti atas dasar argumen masuk akal. Jadi semua kebenaran adalah masuk akal, karena berasal dari Tuhan sebagai Being yang rasional.

Salah satu karya Aquinas yang menunjukkan bahwa tidak adanya pemisahan antara teologi dan filsafat adalah Summa Theologiae (1265-1273). Buku ini disusun berdasarkan metode disputatio skolastik, yaitu sebuah metode berpikir yang keseluruhannya terdiri atas quaestiones (pertanyaan-pertanyaan) dan articuli. Topik pembahasan selalu dianalisa dan dirinci dalam beberapa bagian. Setiap bagian dari topik itu selalu dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan. Aquinas mengemukakan jawaban-jawaban atas setiap pertanyaan. Sumber-sumber jawaban berasal dari Kitab Suci dan filsuf-filsuf sebelumnya; filsuf-filsuf pra-Sokratik, kalangan Bapa-Bapa Gereja purba, para filsuf Islam, serta filsuf Yahudi. Jawaban-jawaban tersebut ditanggapi lewat kritik. Sesudah itu, Aquinas memberikan pendapatnya sendiri sebagai jawaban akhir atas pertanyaan yang bersangkutan.

Hubungan antara filsafat dan teologi tampak paling jelas dalam pandangan Aquinas terhadap filsafat Aristoteles. Menurut Aquinas, sistem filsafat Aristoteles mengandung kebenaran rasional yang sejati. Problemnya terletak pada “bagaimana memahami filsafat tanpa kehilangan hakekat teologi”. Bagi Aquinas, tidak semua kebenaran teologis dengan sendirinya jelas bagi akal budi manusia. Sebagai misal, kebenaran tentang eksistensi Tuhan. Kebenaran ini berasal dari wahyu, namun masih perlu dijelaskan secara filosofis supaya apa yang diimani dapat dipahami secara rasional.

Pandangan Aquinas tersebut di atas mengandung dua implikasi. Pertama, Aquinas menganggap penting filsafat Aristoteles karena filsafat Aristoteles digunakan sebagai alat untuk membuat sistematisasi, definisi, dan merumuskan argumen-argumen mengenai ajaran-ajaran iman tertentu secara logis. Kedua, teologi adalah suatu bingkai dasar untuk memahami pemikiran filosofis dari Aquinas. Pemikiran-pemikiran Aquinas terkait erat dengan konteks teologinya. Dengan demikian Aquinas terkenal sebagai filsuf dan teolog yang mampu menyintesakan seluruh pemikiran kristiani dengan bantuan sistem dan konsep filsafat Aristoteles.

Daftar Pustaka:
Davies, Brian, The Thought of Thomas Aquinas, Clarendon Press, Oxford 1993, hal.1-10.
Gilson, Etienne, The Philosophy of St. Thomas Aquinas, Dorset Press, New York 1948, hal. 37-38.
Grabmann, Martin, S. Tommaso d’Aquino, una introduzione alla sua personalitá e al suo pensiero, Versione del Dottor Giacomo di Fabio, Societá Editrice “Vita e Pensiero”, Milano 1929.
McInerny, Ralph, St. Thomas Aquinas, University of Notre Dame Press, Notre Dame – London 1982, hal. 11-29.
Saranyana, Joseph, History of Medieval Philosophy, Sinag-Tala, Manila 1996, hal. 186-188.
Weisheipl, James A., Friar Thomas D’Aquino: His Life, Thought, and Works, The Catholic University of America Press, Washington DC 1983.


AGUSTINUS RYADI
Penulis adalah Pengajar di Universitas Katolik Widya Mandala dan
Skolastikat Filsafat Seminari Tinggi Providentia Dei,
Surabaya

dimuat di blog website Perpustakaan Fakultas Filsafat UGM

Kamis, 17 Februari 2011

Membongkar Korupsi Melalui Hipnotis

Menonton acara “Uya Emang Kuya” di SCTV, dengan menghipnotis seseorang memberikan suatu inspirasi yang sangat menarik, bagaimana mengungkapkan kebenaran yang muncul dalam alam bawah sadar seseorang. Sehingga yang dinyatakan bukan berdasarkan rasional dan pikiran, yang cenderung penuh dengan kebohongan.

Cara hipnotis diharapkan bisa diterapkan kepada seseorang yang terlibat berbagai kasus mafia hukum, dan kasus hukum lainya yang merugikan keuangan negara. Dengan tujuan, untuk menguak kebenaran hukum.

Menurut wikipedia Indonesia, istilah hipnotis pertama kali dicetuskan oleh James Braid pada tahun 1843. Hipnotis adalah keadaan di mana proses dilakukan. Di mana seseorang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan terhipnotis. Orang yang terhipnotis dipercaya berada dalam keadaan mental di mana perhatiaanya menjadi terfokus, terkonsentrasi dan pikirannya lebih mudah menerima permintaan atau suggesti. Melainkan, seseorang yang terhipnotis bisa menjawab pertanyaan yang diajukan secara jujur.

Masyarakat Indonesia tidak percaya dengan institusi penegakan hukum di Indonesia, karena di sana banyak terjadi pertarungan politik dan kekuasaan, sehingga untuk mengungkapkan kebenaran sungguh sulit diperoleh. Kita terasa sulit untuk menyandarkan aparat hukum di Indonesia, karena sangat susah sekali menegakkan hukum secara jujur dan adil, jika uang dan politik sudah bermain dalam menangani kasus-kasus besar di Indonesia yang menyebabkan kerugian uang negara. Misalnya terhadap kasus mafia hukum dalam perpajakan, atau kasus Bank Century,

Karena itu, metode Hipnotis sangat tepat untuk menginvestigasi setiap pelaku korupsi, kolusi dan mafia hukum di Indonesia, sehingga bisa diperoleh kebenaran sesuai dengan realitas yang berasa dalam nurani alam bawah sadar seseorang yang terlibat kasus tindakan kejahatan luar biasa yang merugikan uang negara dan uang rakyat.

Menghemat Anggaran

Sigmund Freud, melalui teorinya alam bawah sadar, ini menjelaskan bagaimana cara mengungkap kesadaran manusia yang berada di bawah “alam tak sadar” (unconcious), untuk mengendalikan perilaku seseorang. Dasar metode ini adalah untuk mengungkap masalah masalah yang ditekan oleh diri seseorang namun terus mendorong agar keluar secara tidak di sadari.

Oleh karena itu, jika diri seseorang yang terlibat berbagai kasus besar terkait dengan persoalaan kebangsaan bisa menerapkan cara hipnotis, untuk mengetahuai tingkat kejujuran dan kebenaran, melainkan juga agar tidak berbohong, dan mampu mengatakan sejujurnya yang ada di dalam bawah sadar manusia mengenai segala hal kejahatan yang telah dilakukannya.

Metode hipnotis dalam mengungkapkan kasus besar dalam persoalan kebangsaan ini akan menghemat anggaran negara (APBN). Kita juga tidak perlu repot-repot membuat sekretariat gabungang (setgab), pembentukan panitia hak angket terhadap kasus Bank Century atau kasus Pajak. Pembentukan panitia ini- itu atau setgab jelas-jelas menyebabkan pemborosan keuangan negara. Alangkah lebih baiknya, bila uang negara itu digunakan untuk membantu kemiskinan di Indonesia.

Dengan begitu, cara hipnotis adalah tawaran solutif dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan yang penuh dengan cara-cara yang tidak baik, bercampur antara politik dan kekuasaan, dan penuh kekotoran, sehingga cara-cara alternatif hipnotis dapat untuk mengungkapkan kebenaran, siapa saja yang terlibat salah.

Kita tidak mungkin menyandarkan pada institusi aparat penegak hukum di Indonesia, karena kita sudah distrust terhadap penegakan hukum. Banyak kasus hukum dan kasus besar lain yang belum terungkap, dan dibiarkan saja tanpa ada kejelasan lebih lanjut.

Menurut saya, dalam menegakkan hukum di Indonesia diperlukan metode hipnotis dan praktek hipnotis wajib diImplementasikan di dalam institusi negara seperti di Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Tinggi Negara Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan begitu, cara-cara hipnotis lewat alam bawah sadar diharapkan dapat mengungkapkan berbagai kasus besar yang sekarang masih misterius dan simpang siur. Tanpa harus saling menyalahkan satu sama lain, serta melempar tanggung jawab.

Kita bercita-cita, penerapan metode hipnotis dalam penegakan hukum di Indonesia dapat membawa kemajuan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, jujur, adil, dan sejahtera. Semoga.

 
Dimuat di Koran  Kontan
Senin, 7 Februari 2011

Evolusi Peran Mahasiswa UGM: dari Indonesia untuk Dunia

Pendahuluan

Begitu UGM memutuskan menjadi “universitas riset kelas dunia”, konsekuensi dari keputusan tersebut tentu tidak dapat dianggap sederhana, jika tidak ingin disebut inkonsisten. Salah satu konsekuensi yang penulis akan ulas dalam tulisan ini, terkait penegasan kembali peran mahasiswa UGM sebagai agen perubahan, bukan sekedar memenuhi kebutuhan pembangunan tingkat lokal-nasional, namun juga dituntut supaya bergerak menuju level internasional. Adanya pergeseran peran transformatif mahasiswa ini kemudian memunculkan pertanyaan penting: bagaimana agar aktualisasi peran tersebut tetap mengacu pada (dan tidak tercerabut dari) akar budaya di mana mahasiswa itu berada?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu terlebih dahulu dijelaskan tiga penelusuran terkait ide pokok penulisan ini. Pertama, menelusuri pergeseran makna peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Kedua, menelusuri relasi substantif kearifan lokal dan pembangunan berkelanjutan. Ketiga, dari pokok bahasan pertama dan kedua, akan berusaha dilakukan sintesis-reflektif yang dipandu oleh sebuah gagasan berupa revitalisasi (menghidupkan kembali) peran mahasiswa dalam pembangunan berkelanjutan, bukan saja pada tingkat nasional tetapi juga internasional, berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal.

Memaknai “Agen Perubahan”

Betapa begitu sering disebutkan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan (agent of change) bagi bangsanya. Sebutan itu tidak berlebihan, mengingat dalam sejarah pergantian dua rezim pemerintahan otoriter di negeri ini, selalu dipelopori oleh keterlibatan mahasiswa sebagai pemain utama. Tetapi jika melihat fakta disorientasi peran mahasiswa pada satu dekade belakangan, maka sebutan itu perlu dipertimbangkan kembali. Pertanyaan sederhana yang akan muncul segera: (1) apa yang mau diubah oleh mahasiswa? dan (2) pada konteks apa perubahan itu dilakukan?
Dalam banyak kajian, istilah “perubahan” selalu identik dengan “transformasi”. Artinya, setiap berlangsung suatu perubahan, maka ia akan selalu diikuti oleh proses transformasi. Merujuk pendapat Rahardjo, “transformasi” dewasa ini paling tidak mengandung tiga macam persepsi. Pertama, berkaitan dengan perubahan mendasar berskala besar dalam masyarakat dunia yang beralih dari tahap masyarakat agraris-tradisionalis ke tahap industri-modern dan kini masyarakat informasi. Kedua, berkaitan dengan perubahan sosial menurut aliran Marxis, dari sistem feodal ke sistem kapitalis lalu ke sistem sosialis. Ketiga, sebagai ide alternatif terhadap aliran developmentalisme, dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, dari ekonomi berbasis akumulasi modal menuju ekonomi berbasis pemberdayaan rakyat (dalam Mustafa: 2008).

Apabila disepakati bahwa konsep “perubahan” merujuk pada salah satu dari tiga persepsi tersebut, maka pertanyaan (1) dan (2) pelan-pelan mulai ditemukan titik terang jawabannya. Bahwa makna “perubahan” yang perlu digagas oleh mahasiswa saat ini harus mendorong terjadinya transformasi sosial dalam masyarakat. Bukan saja di ranah politik seperti selama ini terjadi, tetapi harus lebih substantif, yakni perubahan pada jantung kehidupan masyarakat, meliputi pembaharuan nilai-nilai dan norma-norma, pola perilaku dan interaksi, sistem organisasi dan lembaga kekuasaan, serta yang paling penting, menghapus mentalitas inferior yang selama ini bergelayut di alam bawah sadar masyarakat kita.

Karena perubahan pada titik-titik tersebut tidak dapat dilakukan seketika dan tiba-tiba, maka dibutuhkan pengetahuan baru, pandangan baru, sikap baru, dan nilai-nilai baru yang mampu mendialogkan konsep-konsep ideal yang dibangun di bangku perguruan tinggi dengan realitas sesungguhnya di jantung masyarakat. Perubahan itu harus berorientasi jangka panjang, bersifat (re)konstruktif dan bukan destruktif. Tepat di titik inilah letak pentingnya bagi mahasiswa supaya dalam setiap penelitiannya selalu didasarkan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan riil di sekitarnya, bukan sekedar memenuhi kepuasan intelektual belaka. Mahasiswa sebagai agen (pelaku) perubahan sudah tidak saatnya lagi duduk di menara gading perguruan tinggi dan teori, tetapi harus lebih membumi kepada realitas di mana kaki mereka berpijak.

Dengan melakukan rekonstruksi makna terhadap konsep “perubahan” tersebut, maka ide-ide pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan lokal, seperti penulis akan jelaskan nanti, menjadi relevan dilakukan. Artinya, untuk menjawab pertanyaan “apa yang mau diubah?” dan “pada konteks apa perubahan itu dilakukan?”, untuk saat ini tidak begitu strategis apabila dilakukan melalui aksi demonstrasi, turun ke jalan, koar-koar penuh heroik, yang pada praktiknya justru tidak menghasilkan apa-apa. Justru akan jauh lebih mengena apabila mahasiswa, bersama bidang ilmu pengetahuan yang dimiliki, terjun langsung tepat berada di jantung persoalan, menjadi problem solver dan melakukan aksi riil di tengah-tengah masyarakat. Dari situlah saripati kearifan lokal ke-Indonesia-an dapat ditemukan (dan dirumuskan), mengonstitusi dan bersinergi bersama program-program pembangunan jangka panjang yang sudah ditentukan.

Relasi Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lokal

Ide pembangunan (developmentalisme) muncul ke permukaan sebagai respon atas konsekuensi modernitas. Itulah sebabnya sering dikatakan bahwa ide pembangunan sesungguhnya adalah bentuk riil dari “modernisasi” (Mustafa: 2008). Ide pembangunan banyak ditemukan di sebagian besar negara-negara berkembang, negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ide pembangunan merupakan jargon penting selama pemerintahan Soeharto, sebagaimana dibuktikan oleh adanya program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) I sampai VI (1969-1999).

Seperti dikemukakan Subandy Ibrahim, program pembangunan Soeharto tidak sepi dari masalah. Sejak program itu digulirkan, ketimpangan sosial dan ekonomi berlangsung masif. Pemerataan dan keadilan tidak berjalan semestinya (Ibrahim: 2004). Persis merujuk pada persepsi ketiga pandangan Rahardjo di atas, program pembangunan Orde Baru telah membentuk struktur sosial tersentralisasi dan akumulasi modal terhenti pada kaum minoritas, yakni para konglongmerat yang dekat dengan penguasa. Berkisar pada koteks tersebut, Arief Budiman lalu mengritik program pembangunan. Menurut Budiman, paradigma pembangunan Orde Baru hanya bertumpu pada aspek produksi material, sama sekali tidak menyentuh aspek manusia sebagai pengambil inisiatif, sang ‘manusia pembangunan’ itu sendiri. Setali tiga uang dengan pendapat tersebut, Sudjatmoko dan Kuntowijoyo jauh-jauh hari telah mengemukakan bahwa ide pembangunan harus dikaitkan dengan gagasan tentang kebudayaan (dalam Ibrahim: 2004).

Bertolak dari pandangan terakhir itulah ide pengaitan pembangunan dan kearifan lokal pada saat ini relevan dibicarakan. Belajar dari masa lalu, upaya membangun adalah upaya membentuk budaya. Di sana ada proses transformasi sosial, di mana masyarakat, baik sebagai objek maupun subjek, terlibat langsung dalam proses pembentukannya. Karena itu, jika mengharap supaya pembangunan memiliki nilai-guna dan awet-berjangka panjang, maka ide pembangunan itu harus menjadi bagian dari, meminjam istilah filosof van Peursen, “strategi kebudayaan” (Peursen: 2000). Artinya, hakikat pembangunan, sebagaimana pula hakikat budaya, harus dipahami sebagai “proses” dan “menjadi”. Ia tidak mengenal kosakata “akhir”. Manusia, sebagai pelaku (agen), adalah subjek kreatif yang memiliki peran strategis dalam menentukan dan menciptakan kebudayaannya sendiri, baik untuk saat ini maupun masa mendatang.
Justru ketika pembangunan dipahami sebagai “proses” dan “menjadi”, itu artinya di sana ada “dialektika”. Sebuah proses akulturasi antara apa yang ada pada “kami” dan “mereka”, dan pada akhirnya berbuah menjadi “kita”. Tepat pada konteks inilah kearifan lokal dapat masuk menjadi subsistem penentu bagi pembangunan, segaris lurus dengan dapat masuknya pula prinsip-prinsip dari luar (modernitas, misalnya) menjadi subsistem bagi pembangunan, tentunya dengan catatan: sejauh proses dialektika itu berjalan fair dan setara. Dengan begitu, hasil dialektika antara “kami” (kearifan lokal) dan “mereka” (modernitas) berfaedah untuk mengerangkai orientasi pembangunan “kita” ke depan. Lalu muncul pertanyaan: apakah kearifan lokal bisa berdialektika dengan nilai-nilai asing itu? Menjawab pertanyaan ini, penulis katakan: bisa!

Barangkali karena apa yang disebut “kearifan lokal” itu sendiri berisi nilai-nilai ke-Indonesia-an yang bersifat universal, seperti telah dengan cerdas dirumuskan oleh pendiri negara ini dalam bentuk Pancasila, maka pada kondisi dan rentang waktu kapanpun, nilai-nilai tersebut tetap relevan digunakan, sebagai bagian yang integral dari “proses” pembangunan.

Setelah melihat relevansi pengaitan antara pembangunan berkelanjutan dengan kearifan lokal di atas, lantas di mana mahasiswa mesti berperan? Tanpa perlu mengurangi sedikitpun nilai-nilai lokalitas kita sebagai manusia Indonesia, mahasiswa tetap bisa melakukan tugasnya sebagai agen perubahan dalam masyarakatnya. Justru setelah melalui pemaknaan ulang terhadap takrif “perubahan” sebagaimana telah dilakukan pada pokok bahasan pertama, penulis melihat peran tersebut kini mengalami pergeseran. Bukan secara revolusi tiba-tiba, melainkan secara evolusi bertahap, peran mahasiswa saat ini bergeser dari yang tadinya hanya berkutat pada problematika di level lokal-nasional, kini pelan-pelan bergerak menuju problematika di level internasional.

Mahasiswa, sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari warga dunia yang karenanya, antara kesadaran menjadi ‘manusia Indonesia’ dan ‘manusia dunia’ pada hakikatnya harus saling mengandaikan dan bersifat interdependensi. Proyeksi pemikiran dan gerakan transformatif mahasiswa pun akhirnya boleh dikatakan ‘melampaui’ Indonesia. Untuk menunjukkan keakuratan argumentasi tersebut, penulis akan meng(k)ajinya dari realitas konkret di mana penulis kini berada, yakni kampus tercinta, Universitas Gadjah Mada.

Evolusi Peran: dari Indonesia untuk Dunia

Ada sedikitnya dua faktor penyebab mengapa pergeseran evolusif itu berlangsung. Pertama, dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa arus globalisasi. Hal ini dibuktikan semenjak ditemukannya teknologi informasi yang mana derasnya rembesan informasi yang ditimbulkannya, telah menggeser karakter masyarakat kita dari masyarakat agraris-tradisional ke industri-modern dan kini masyarakat informasi. Fakta ini persis seperti pandangan Rahardjo di atas. Artinya, akibat globalisasi informasi yang tak terkendali, bagaimanapun telah mendorong terjadinya transformasi sosial dalam skala global di mana pengaruhnya juga mempengaruhi transformasi sosial dalam skala nasional.

Untuk menyebut contoh, sebuah laga Piala Dunia yang saat ini tengah berlangsung di Afrika Selatan, berkat bantuan teknologi informasi, dapat dengan mudah kita nikmati di televisi nasional. Kita tak perlu berletih-letih antri mendapatkan karcis, mendatangi lokasi pertandingan, apalagi menghabiskan uang berjuta-juta untuk biaya transportasi. Cukup hidupkan televisi, sembari menyeruput kopi, hasil pertandingan Argentina vs Jerman bisa kita ketahui saat itu juga. Berkat teknologi informasi pula, video porno Nazril Ilham dan Mbak Luna Maya dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak dibawah usia dewasa. Begitu menakjubkan, bukan? Betapa implikasi globalisasi informasi telah mengarahkan kita pada situasi yang tak terduga, begitu cepat, dan nyaris membuat dunia yang kita huni ini tampak begitu sempit. Tentu globalisasi informasi yang penulis paparkan di sini hanyalah satu dari banyak contoh. Di luar itu, datang begitu banyak isu-isu penting yang pada intinya: mendorong kita supaya bergerak ke arah pandangan-pandangan baru yang bersifat mendunia.

Sebagai respon atas pengaruh globalisasi di atas mau tak mau reformulasi dari dalam diri kita tentu perlu dilakukan. Sebab, seperti dikatakan Sudjatmoko, masa depan kita sebagai negara akan banyak dipengaruhi oleh perhitungan-perhitungan dan kemampuan-kemampuan yang dikembangkan oleh negara-negara di luar Indonesia (Soedjatmoko, 1995). Artinya, dengan kondisi dunia luar yang tengah bertransformasi ke arah kemajuan-kemajuan baru, kita secara tak langsung dipaksa agar juga melakukan adaptasi baru. Inilah sebab persisnya mengapa cendekiawan Kuntowijoyo menganjurkan agar melakukan “inner revolution”, sebuah perubahan mentalitas dan sensibilitas yang radikal setiap berhadap-hadapan dengan jaman yang asing dari asal-usul kita (dalam Ibrahim: 2004). Persis seperti sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebutnya sebagai “inner perspective”, dengan kandungan maksud yang kurang lebih sama dengan Kuntowijoyo (Kartodirdjo: 1990). Berkisar pada konteks inilah penulis menyebutnya sebagai faktor internal. Yaitu, sebuah pergeseran evolusif dari dalam diri kita, menuju penyesuaian-penyesuaian baru, entah sebagai reaksi atau proteksi, terhadap arus globalisasi (faktor eksternal). Terletak pada latar dua faktor itu, sebuah transformasi pun akhirnya berlangsung. Bermuara dari dua faktor itu pula, UGM tak ketinggalan memberi respon melalui perubahan radikal pada, mengutip Sartono, “inner perspective”-nya.

Merujuk diktat “Rencana Strategis Universitas Gadjah Mada Tahun 2008-2012”, UGM memberi penegasan khusus pada visinya, “menjadi universitas riset kelas dunia”. Tetapi, visi itu tidak berdiri sendiri. Terdapat catatan penting yang harus dipegang teguh, “dijiwai Pancasila (UGM) mengabdi kepada kepentingan dan kemakmuran bangsa”. Artinya, poin penting dari visi itu adalah sebuah kesadaran internal UGM bagaimana bisa berkonstribusi dalam skala lebih luas (internasional) namun tetap mengakar pada sosio-budaya bangsanya (Pancasila). Dalam hemat penulis, cita-cita ini sesungguhnya tidak terlalu utopis dan lebih bersifat preventif. UGM sebagai lembaga ilmiah sadar betul bahwa dalam kurun waktu mendatang, satu hingga tiga generasi ke depan, Indonesia mengalami situasi jaman yang sangat berbeda dengan sekarang. Penegasan visi itu, terlepas dari praktik dan kritik yang ada, merupakan persiapan jangka panjang bagi generasi kita agar tidak kejang-budaya (shock culture) saat menghadapi situasi yang berbeda kelak. Serta, yang terpenting, visi itu sesungguhnya adalah sebuah tantangan bagi mahasiswa seberapa besar keberanian mereka melakukan transaksi gagasan (ilmiah) dalam skala internasional dan seberapa tangguh mentalitas mereka tidak terjajah secara akademik.

Dengan berlangsungnya tranformasi perspektif tersebut, maka mahasiswa pun dituntut melakukan adaptasi baru pula. Melihat pilihan-pilihan masa depan yang beranekarupa, mahasiswa harus mampu memetakan proyeksi realitas masa depan bangsanya, dan dari situ, mahasiswa harus berani menjemput dan mengambil peluangnya, hendak jadi apa, peran apa, dan pada konteks apa mereka memberi konstribusi bagi pembangunan bangsanya. Hal ini mengandaikan agar mahasiswa secara proaktif (bukan reaktif) mulai berpikir futuristik, membentuk semacam “arus baru” bagi generasinya, menerobos, yang mengakar kuat pada cita-cita bangsanya namun juga bermartabat dalam interaksi internasional.

Alhasil, dengan melihat kondisi-kondisi ini, kita lalu dapat memahami adanya satu tahapan penting dalam usaha revitalisasi mahasiswa. Yaitu, sebuah evolusi peran dari agen perubahan bagi Indonesia menjadi pemandu perubahan bagi dunia.***

Daftar Pustaka:

Ibrahim, Subandy, Idi, 2004, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta
Kartodirdjo, Sartono, 1990, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah: Kumpulan Karangan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Mustafa, Achsan, Ali, 2008, Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarh, Teori dan Praksis Pedagang Kaki Lima, Inspire Indonesia, Malang
Peursen, CA van, 1988, Strategi Kebudayaan, edisi 19, (diterjemahkan oleh Dick Hartoko), Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Soedjatmoko, 1995, Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan, edisi 4, LP3ES, Jakarta
Rencana Strategis Universitas Gadjah Mada Tahun 2008-2012, disahkan oleh Majelis Wali Amanat UHM dengan Surat Keputusan No. 29/SK/MWA/2007 pada tanggal 15 Desember 2007

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
Naskah pernah diikutkan Annual Essay Competition 2010