Selasa, 17 Mei 2011

Indonesia di Ambang Krisis Ideologi

Babeberapa hari ini tersiar di media massa, baik di media cetak elektronik maupun di media elektronik mengenai aksi gerakan terorisme dan gerakan fundamentalisme Islam yang berbau penggulingan ideologi negara Indonesia. Hal ini perlu dikritisi kembali mengenai akar permasalahan yang utama, yaitu ketidaksadaran masyarakat mengenai pentingnya sebuah ideologi dalam sebuah kenegaraan.

Ideologi adalah sebuah ilmu gagasan mengenai cita-cita sebuah negara yang di dalamnya berdasarkan karakteristik bangsa, dan tatanan geografis wilayah. Fakta sejarah negara Indonesia berideologi Pancasila disepakati dan disahkan pada tanggal 1 Juni 1945.

Pancasila sebagai ideologi Indonesia menerangkan bagaimana sikap dan perilaku dalam tataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila dalam Pancasila memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain dan sifatnya hierarkis, yaitu menyudut pada dua hal kefilsafatannya, yaitu:

  1. Pancasila mempercayai adanya Tuhan sebagai Maha Pencipta
  2. Pancasila mengkaji manusia dan secara khusus mengkaji manusia Indonesia dan aspek-aspeknya tersebut dalam setiap silanya.
Filsafat Pancasila yang terbangun sedemikan luasnya dalam memaknai silanya,  disalahpahami oleh kalangan Islam fundamentalis sebagai ideologi kafir, karena tidak sesuai dengan sistem syariat. Golongan Islam fundamentalis menginginkan bentuk khilafah islamiyah.  Hal ini dikaitkan sejarah gerakan Negara Islam Indonesia (NII) dengan martirnya Kartosuwiryo. Pemberangusan NII berakhir pada bulan September 1962.

NII yang vakum dari gerakan, kini menunjukkan eksistensinya kini bangkit dan mengibarkan bendera melalui gerakan kaderisasi yang sangat halus dan invisible. Selama kurang lebih 49 tahun itu juga Pancasila 'tidur'. Kini dengan kebangkitan NII membuat masyarakat dan seluruh elemen pemerintahan 'kebakaran jenggot', dan mencoba membangunkan Pancasila dari 'tidur' panjangnya.

Disorientasi Pancasila

Pancasila dalam sejarahnya adalah ideologi yang bernafaskan nasionalisme. Nasionalsme yang berdasarkan pada karakteristik bangsa Indonesia. Nasionalisme yang merangkul seluruh agama, budaya, bahasa, dll. Hal ini menunjukkan bahawasannya Pancasila memberikan wadah kepada setiap golongan.

Nasionalisme yang mempersatukan seluruh golongan. Bukan merangkul pada satu golongan. Pemetaan disorientasi Pancasila terletak pada pendidikan kritis mengenai ideologi. Dalam kurun waktu 49 tahun Pancasila diremehkan dan tidak memiliki nilai keutamaan.  Jikalau kita sebagai warganegara memiliki rasa  paradigma kepancasilaan, negara Indonesia tidak akan mudah dihasut oleh masalah-masalah yang mengandung sara.

Prof. Dr. Mahfud MD mengutarakan argumentasi dalam sebuah acara Sarasehan Pancasila, yang bertema; "Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia" pada tanggal 2 Mei 2011 di UGM beliau mengatakan: ditinjau dari aspek UUD 1945 anutan pluralisme Pancasila, ditegaskan lebih spesifik melalui frasa-frasa seperti "mengakui", "menghormati", "menjamin", dan memberikan perlindungan terhadap keberagaman bangsa Indonesia.  Argumentasi Prof. Dr. Mahfud MD menguatkan pemahaman tentang tafsir Pancasila melalui nilai-nilai keutamaan tentang kekritisan pemahaman visi dan misi Pancasila.

Penguatan Nilai-Nilai Pancasila
        
Tafsir Pancasila perlu ditekankan mengenai nilai-nilai filosofis dari segi historis hingga konteks kekinian. Strategi penguatan nilai-nilai Pancasila dilihat dari 3 aspek terpenting. Pertama ditinjau dari aspek pendidikan ala kepancasilaan. Pendidikan kepancasilaan yang kritis yang menguatkan kostruksi ideologi tersebut. Kedua, dari aspek legitimasi konstitusi yang mana memberikan kebijakan-kebijakan filosofis mengenai kenegaraan. Ketiga, dari aspek kesadaran bersama dalam hal pembangunan negara.

Hasil yang diperoleh dari ketiga aspek tersebut tidak lain adalah terciptanya harmonisasi dan keadilan bagi masyarakat dan tegaknya negara Indonesia. Hal ini juga dijawab dalam tafsir Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetap satu jua. Perbedaan adalah suatu rahmat dari Tuhan untuk kita saling memahami, bukan untuk saling menjatuhkan.

Harmonisasi penguatan dari nilai-nilai Pancasila juga membentuk masyarakat pancasilais, yang mencintai negaranya. Jiwa patriotisme yang kental demi membentuk kerukunan warganegara. Sudah saatnya kita sebagai warganegara Indonesia mengorganisir kehendak kebersamaan dalam satu tekad yang kuat, yaitu membangun negara Indonesia agar berjaya. Tranformasi ini yang telah dikonsepkan oleh founding father kita dalam mendirikan negara. Semoga kita menjadi bangsa yang sadar akan pentingnya ideologi negara. (*)
           
 
Ahmad Sidqi, Alumni Fakultas Filsafat UGM. Mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) DPC Yogyakarta
Opini ini dimuat di Kabar Indonesia

Rabu, 16 Maret 2011

Relasi Ilmu dengan Kebebasan Individu dalam Perspektif Anything Goes

Abstract
Enlightenment always taken for granted as divesting project. Its emphasizing at reason often accepted as something freeing for scientists or researchers. The relationship between science and political structure prominently does not express individual liberty. Thereby this relationship always important to be examined.
Feyerabend well-known as a controversial philosopher because he campaigned for methodological anarchism and anything goes. Anything goes inherently stands in methodological anarchism which is, according to Feyerabend, medicine for science in two conditions like fascist or chauvinistic. This research attempts a few paces which are inventarization, classification, and evaluation. Methodical path which attempts are critical analysis, synthesize, thereafter it will be descripted prominently.
From the analysis done, it knows that anything goes cannot be positioned as positive methodology because its speciality for criticize standards and involve unspecified and unspecifiable practice. Science’s differentiations, etimologically and terminologically, have influence on scientists’ and researchers’ interpretations about science. It will be much better if those interpretations directed to science as double face entity with emphasize on process which always adhere on development of science in the movement of history better than as eminent product. Freedom has elusive character trait but often characterized positively and negatively. Both characters influence anything goes who has external and internal side. Anything goes’ externality relates to the meaning of positive freedom while its internality relates to the meaning of negative freedom. Thereby, in the perspective of anything goes, science able to enhance individual liberty but both of them stand in unique situation considering that meaning of science whose double face either elusive character trait of individual liberty which divided as positive and negative.
Keywords: anything goes, science, individual liberty.

Pendahuluan
Pencerahan memberi porsi yang sangat besar bagi ilmu dan kebebasan individu. Hal ini terbukti dari kuasa akal (reason) yang begitu besar pada abad 18 sebagai Abad Pencerahan. Cassirer menyatakan: “ketika abad 18 ingin disebut dalam sebuah kata, ia disebut sebagai “reason“. Reason menjadi perekat dan titik sentral pada abad ini, mengekspresikan perjalanan dan perjuangan, serta segala perolehan”ii. Di samping itu, bukti lain yang menguatkan ialah pendapat Horkheimer dan Adorno bahwa untuk bidang ilmu, Pencerahan mengacu pada sebuah masa eksperimentasi dan penemuan melalui pencarian rasional secara bebasiii.
Pada Abad Pencerahan, banyak filsuf berupaya menerapkan metode ilmu alam pada wilayah moral. Paling jelas nampak pada ambisi David Hume akan sebuah science of man. Kodrat manusia bersifat konstan dan seragam dalam prinsip-prinsip operasional, yaitu motivasi yang mendorong atau hasrat; sumber pengetahuan berupa pengalaman; dan mode operasi berupa asosiasi ide. Hal tersebut dapat dipahami secara ilmiah bahwa institusi sosial dapat didesain untuk memeroleh hasil yang memuaskaniv.
Setiap aksi pastilah menimbulkan reaksi. Tidak sedikit para pemikir yang menolak proyek Pencerahan. Horkheimer dan Adorno menengarai bahwa pencarian sistematik dari akal budi dan kebebasan yang tercerahkan mempunyai pengaruh ironis jangka panjang dalam melahirkan bentuk rasionalitas dan penindasan baru. Selain itu, Pencerahan juga mengancam ide tentang hak asasi manusia seperti pada “universal-universal lama”, misalnya mitos. Setiap perlawanan yang Pencerahan temukan semata-mata berperan untuk meningkatkan kekuatan serta mengakui eksistensi mitos yang erat dengan dirinyav, misalnya Pencerahan selalu membawa kebebasan berpikir bagi setiap orang atau ilmu dapat meningkatkan kebebasan individu.
Penolakan terhadap Pencerahan yang terkait dengan relasi antara ilmu dengan kebebasan individu nampak jelas pada apa yang disebut Ian Shapiro sebagai Politik Anti Pencerahan. Shapiro mengatakan, “para pengecam Pencerahan tidak percaya bahwa kemajuan yang berdasarkan ilmu pengetahuan akan menghasilkan perbaikan hidup manusia dan kebebasan individu”. Pada bagian selanjutnya, Shapiro mengkritisi bahwa “…kebanyakan versi serangan anti-Pencerahan terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih masuk akal sebagai kritik terhadap Pencerahan awal dibandingkan terhadap Pencerahan akhir”vi.
Indonesia pernah memiliki pengalaman serupa. Kebebasan individu, yaitu ilmuwan, cendekiawan dan para peneliti, dalam mengembangkan ilmu dibatasi sedemikian rupa oleh rezim Orde Baru guna melanggengkan stabilitas persatuan dan kesatuan, ekonomi, politik dan keamanan. Mengenai hal tersebut, Dhakidae mengampanyekan perlunya “pembebasan sebagai solusi, jika tidak, maka krisis ilmu di masa Orde Baru tidak akan teratasi”vii. Dengan demikian, tegangan antara kebebasan individu dengan ilmu menjadi penting untuk diteliti. Fokus penelitian diarahkan pada gagasan Paul Karl Feyerabend mengenai anything goes sebagai salah satu metode dalam upaya pengembangan ilmu. Anything goes memberikan corak tersendiri dalam khazanah filsafat ilmu serta mendapat respon cukup banyak, walau, mayoritas respon belum menyentuh wilayah relasional antara ilmu dengan kebebasan individu. Dengan kata lain, obyek material penelitian ini ialah relasi antara ilmu dengan kebebasan individu. Sedangkan ide filosofis atau obyek formal yang akan diteliti ialah: relasi antara ilmu dengan kebebasan individu, dipandang dari perspektif anything goes Feyerabend.
Struktur Logis Anything Goes
Feyerabend dan gagasan anything goes ialah satu kesatuan yang kontroversial dalam perdebatan filsafat ilmu sejak abad ke-20 yang lalu. Beberapa pernyataan yang populer dari Feyerabend ialah “…seluruh metodologi, bahkan yang paling jelas sekalipun, memiliki keterbatasan-keterbatasan”; dan “seluruh metodologi memiliki keterbatasan-keterbatasan dan satu-satunya ‘aturan’ yang dapat bertahan ialah ‘anything goes‘”viii. Dalam Against Method (AM), Feyerabend tidak banyak mengeksplorasi prinsip anything goes. Hanya tujuh kali Feyerabend menyuratkan anything goes dalam AM. Sedangkan AM lebih fokus pada kampanye Feyerabend melawan klise berupa metodologi.
Feyerabend juga menyatakan, “prinsip yang tidak menghalangi perkembangan hanyalah: anything goes“; kemudian “akan menjadi jelas bahwa hanya ada satu prinsip yang dapat bertahan dalam pelbagai keadaan dan di seluruh jenjang perkembangan kehidupan manusia, yaitu prinsip: anything goesix. Prinsip ini tentulah bukan entitas yang berdiri sendiri, karena eksistensinya terkait erat dengan anarkisme epistemologi. Bagi Feyerabend, “anarkisme membantu untuk memperoleh perkembangan dalam suasana apapun untuk memilih”x. Keberpihakan Feyerabend pada anarkisme bukan tanpa tujuan. Feyerabend menyatakan “tujuan saya bukan untuk menggantikan aturan umum yang berlaku dengan aturan yang lainnya: tujuan saya ialah, lebih jauh lagi, untuk meyakinkan pembaca bahwa seluruh metodologi, bahkan yang paling jelas sekalipun, memiliki keterbatasanxi. Baginya seorang anarkis epistemologis seperti “agen yang sedang menyamar dengan dalih mendukung Akal, namun tujuan sebenarnya ialah memusnahkan otoritas Akal itu sendiri”xii. Dengan kata lain, Feyerabend percaya bahwa bukan akal semata yang merupakan otoritas tunggal pengampu segalanya, termasuk dalam pengembangan ilmu.
Van Peursen dalam hal ini memberikan komentar bahwa Feyerabend mendesak untuk membuka pintu kemungkinan untuk berbagai macam mode alternatif dalam mengembangkan ilmuxiii. Akan tetapi van Peursen terlalu berlebihan ketika menginterpretasikan bahwa magi juga harus diberi kesempatan untuk upaya ini. Padahal, Feyerabend sendiri hanya mengakui bahwa jarak antara mitos dengan ilmu lebih dekat ketimbang diskursus filosofis dengan ilmu; dan menganggap bahwa keserupaan antara mitos dengan ilmu sangat mengherankanxiv; serta menganggap bahwa pencapaian mitos jauh lebih mengagumkan daripada ilmu karena mitos dimulai oleh kultur sedangkan ilmu hanya mengubahnya, bahkan terkadang tidak lebih baik ketimbang sebelumnyaxv.
Mitos yang dimaksud Feyerabend mengarah pada beberapa hal di antaranya: (1) “sistem penjelas kompleks yang mengandung beragam hipotesis pembantu yang didesain untuk menangani beberapa kasus spesial, maka ia dengan mudah dapat menerima sebuah konfirmasi tingkat tinggi melalui basis observasi”; (2) hal yang tidak memiliki pertalian sama sekali dan hanya eksis melulu karena usaha komunitas yang memercayainya seperti pendetaxvi. Jika mitos hanya dianggap Feyerabend memiliki kedekatan jarak dengan ilmu sebagai domain, maka secara a priori dapat dikatakan bahwa magi tentu lebih jauh kedudukannya sebagai ko-domain ilmu. Magi, meminjam frase ontologis ala Anselmus, bertolak dari credo ut intelligam yang berarti ‘percaya dulu baru mengerti’. Sementara ilmu tidak berangkat dari anasir credo, namun verifikasi atau pembuktian. Dengan kata lain, entitas ilmu dan magi pada dasarnya memiliki kodrat yang berbeda.
Feyerabend mengklaim bahwa tidak ada rasionalisasi yang berbeda antara dirinya dengan Imre Lakatosxvii, mengenai penilaian mereka atas Akal (Teori Rasionalitasxviii) dan standar observasi. Menurut Feyerabend, Lakatos mempersepsikan bahwa Akal tidak secara langsung membimbing ilmuwan untuk bertindak dalam praktik ilmiah. Feyerabend percaya Lakatos sependapat dengannya bahwa observasi tidaklah memiliki kekuatan heuristikxix. Akal seperti yang didefinisikan Lakatos tidak secara langsung membimbing atau mengarahkan tindakan ilmuwan. Berdasar pada kedudukan Akal yang sedemikian rupa, maka bagi Feyerabend apa saja boleh (anything goes). Implikasinya tidak ada penjelasan yang berbeda antara dirinya dengan Lakatos meskipun terdapat perbedaan yang besar di beberapa hal seperti (1) retorika argumentasi, dan (2) sikap terhadap kebebasan meneliti yang terkait dengan masing-masing standarxx.
Feyerabend juga memberikan klarifikasi bahwasanya slogan anything goes (dan proliferate) tidak bertujuan untuk menggantikan Induktivisme, atau Falsifikasionisme, bahkan research-programmismxxi. Untuk lebih jelasnya, akan lebih baik meninjau anything goes dalam kerangka yang lebih matang, seperti yang terdapat dalam Science in A Free Society (SAFS) berikut.
Feyerabend membangun anything goes melalui beberapa runtutan atau rangkaian argumen yang tak dapat dipandang secara terpisahxxii. Pada awalnya, Feyerabend ingin mengkritisi standar penelitian dengan cara melakukan riset yang melanggar standar itu sendiri. Menurutnya, dalam mengevaluasi riset tersebut kita boleh berpartisipasi hanya dalam praktik yang tak ditentukan (unspecified) dan tidak dapat ditentukan (unspecifiable)xxiii. Dari sini, Feyerabend mengklaim bahwasanya akan diperoleh hasil berupa: “riset yang menarik dalam khazanah ilmu-ilmu kerapkali mengarah pada revisi yang tak terkira mengenai standar-standar walau ini bukanlah niatan awalnya”xxiv. Meski demikian, Feyerabend tak lupa untuk memberikan penekanan bahwa anything goes bukanlah satu-satunya prinsip sebuah metodologi baru yang direkomendasikannya. Anything goes hanyalah upaya untuk sungguh menjalankan standar universal dari ilmu, dan bertujuan untuk memahami sejarah ilmuxxv. Untuk lebih jelasnya, akan lebih baik apabila diolah menjadi gambar di bawah ini:
Gambar 1. Struktur Logis Anything Goes
Gagasan research programme (program riset/PR) dari Lakatos dipilih sebagai analogi karena beberapa hal. Pertama, anything goes bukan metode dalam pengertian positivistik, namun sebagai gagasan khusus Feyerabend bagi upaya pengembangan ilmu yang berada pada kondisi tertentu. Hal tersebut sesuai dengan bayangan Lakatos mengenai PR, yaitu bukan dalam pengertian ilmu secara keseluruhan namun lebih spesifik sebagai program riset partikularxxvi.
Kedua, heuristik positif dalam PR Lakatos terdiri dari seperangkat sugesti atau bayangan perubahan, modifikasi, dan sofistifikasi lingkaran pelindung. Hal tersebut sesuai dengan keempat premis yang digunakan Feyerabend dalam membangun kerangka argumen anything goes. Ketiga premis pertama selalu berupaya untuk melindungi inti yang berupa anything goes, namun tidak dapat berubah seperti PR Lakatos.
Ketiga, bagi Lakatos heuristik positif PR dapat menyelamatkan ilmuwan dari kebingungan yang diakibatkan oleh gelombang anomali (ocean of anomalies) dalam ilmuxxvii. Dalam kondisi ilmu yang fasistik, secara a priori dapat dikatakan bahwa tingkat anomali semakin meningkat, seperti yang terjadi dalam perkembangan ilmu ekonomi mainstream di Indonesia. Dalam kasus tersebut, terjadi anomali yang sangat mencolok, yaitu kesesuaian antara teori dengan hasil yang dicapai, seperti tingkat kesejahteraan dan kemiskinan masyarakat. Gelombang anomali tersebut dapat diatasi dengan anything goes beserta premis penyusunnya, yaitu dengan melakukan riset yang melanggar standar serta penyelenggaraan praktik yang tak ditentukan dan tidak dapat ditentukan oleh standar.
PR Lakatos mengandung beberapa kerumitan ketika dianalogikan dengan anything goes. Pertama, Lakatos tidak menjelaskan aplikasi PR dalam ranah riset ilmu sosial, sedangkan anything goes direkomendasikan Feyerabend untuk pelbagai jenis ilmu yang berada dalam kondisi tertentu. Dengan demikian, analogi PR harus selalu ditempatkan sebagai upaya menjelaskan kerangka bangunan anything goes. Kedua, PR Lakatos berimplikasi pada demarkasi antara mature science dengan immature sciencexxviii. Tujuan anything goes juga harus diposisikan sebagai upaya untuk mengatasi kebuntuan upaya pengembangan ilmu dalam situasi tertentu. Ketiga, PR Lakatos mengandaikan perkembangan heuristik positif dalam rentang waktu perkembangan ilmu yang cukup lama, sedangkan heuristik positif dalam anything goes berlangsung dalam waktu relatif lebih singkat, yaitu hanya pada riset yang melanggar standar.
Premis pertama merupakan heuristik positif sekaligus pengandaian utama yang berupaya mendukung anything goes sebagai inti dari research programme. ‘Upaya mengkritisi standar yang telah berlaku’ merupakan pengandaian utama munculnya anything goes. Feyerabend merasa perlu untuk mengkritisi standar ilmu yang berlaku karena “standar yang kita gunakan dan aturan-aturan yang direkomendasikan, hanya masuk akal pada dunia yang memiliki kepastian struktur”xxix. Dengan kata lain, ia mendasarkan argumennya pada hal yang bersifat kosmologis. Ia memulai dari ranah fisika dan astronomi kemudian meluas ke ranah ilmu yang lainnya. Bagi Feyerabend ide bahwa dunia secara kualitatif maupun kuantitatif bersifat infinitif, menggiring ilmuwan pada pencarian, prinsip, dan standar baru dengan konsekuensi, teori yang memiliki ekses lebih luas akan lebih diterima ketimbang yang sebelumnyaxxx.
Mengenai standar, Feyerabend menyatakan “standar ialah instrumen pengukur intelektualitasxxxi. Standar tidak hanya memberikan pembacaan mengenai temperatur, atau berat, akan tetapi juga mengenai properti-properti kompleks dari proses historis”xxxii. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari penjelasan Feyerabend berikut:
“kita tidak dapat menentukan standar-standar sebelum kita mengetahui subyek yang akan diujinya. Standar-standar bukanlah wasit abadi dari riset, moralitas, yang secara cantik terpelihara dan hadir karena sekumpulan dewan elit pendeta yang terproteksi dari irasionalitas rakyat jelata dalam ilmu, seni, dalam masyarakat; standar adalah instrumen yang menyediakan tujuan pasti melalui keadaan-keadaan yang sudah dikenali dan teruji secara detail”xxxiii.
Menurut Feyerabend, dalam mengevaluasi riset yang melanggar standar, peneliti boleh berpartisipasi hanya dalam praktik yang tak ditentukan dan tidak dapat ditentukan karena terkait dengan interaksi antar tradisi yang mengadopsi pragmatic philosophyxxxiv ketika menguji struktur dan kejadian yang menghampiri penelitixxxv. Dengan kata lain pragmatic philosophy muncul ketika terjadi interaksi lintas tradisi dan bersifat futuristik demi kepentingan jangka panjang pihak yang terlibat. Tradisi tersebut dapat berupa seni, agama, mistik, magi, dan yang lainnya.
Premis kedua merupakan bagian dari heuristik positif anything goes setelah premis pertama. Feyerabend tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai praktik yang tak ditentukan dan tidak dapat ditentukan. Akan tetapi Dewey pernah memberikan pendapat yang cukup memadai guna memahami gagasan Feyerabend. Menurut Dewey, “kita, secara sosial, dalam kondisi kebingungan karena pengetahuan otentik kita diperoleh dari praktik yang sudah ditentukan, sedangkan metode masih terbatas untuk beberapa benda yang terpisah dari peneliti atau justru mengarahkannya hanya pada teknologi-teknologi industri”xxxvi. Dengan demikian praktik yang diusulkan Feyerabend, dalam pengertian tertentu, sesuai dengan kebingungan sosial yang disinyalir Dewey sebagai akibat dari praktik yang sudah ditentukan dalam usaha menghasilkan pengetahuan otentik. Kebingungan secara sosial tersebut berkait dengan pelbagai pengalaman manusia yang turut memberikan kontribusi bagi totalitas pengetahuan yang dicerapnya. Dengan kata lain, setiap pengetahuan manusia secara faktual (das sein) tidak melulu harus melalui praktik yang telah ditentukan (das sollen). Selain itu, praktik yang diusulkan Feyerabend konsisten dengan aspirasi awal untuk mengkritisi standar ilmu.
Dewey dan Feyerabend secara implisit mengakui bahwa terdapat struktur dan supra-struktur yang menentukan kinerja riset hingga pengetahuan yang dihasilkan. Struktur dan supra-struktur tersebut dapat berupa (1) komunitas ilmiah yang memiliki otoritas untuk menentukan mana pengetahuan ilmiah yang berlaku; (2) asumsi awal yang mustahil untuk dihapus dari benak masing-masing peneliti; ataupun (3) klise bahwa pengetahuan ilmiah harus terdiri dari pembuktian empirik mengenai hipotesis yang dibangun dalam penelitian (logico-hypothetico-verificative atau deducto-hypothetico-verificativexxxvii).
Poin pertama, komunitas ilmiah ialah bagian dari struktur yang akan menolak setiap upaya mengevaluasi riset yang melanggar standar. Praktik yang tak ditentukan dan tidak dapat ditentukan tidak mungkin mendapat tempat yang memadai dalam komunitas ilmiah, karena relasi antara praktik yang ditentukan dengan komunitas ilmiah saling mengandaikan: otoritas yang dimiliki komunitas ilmiah membutuhkan eksistensi praktik yang ditentukan lengkap dengan standar yang berlaku, begitu pula sebaliknya, praktik yang ditentukan dan standar yang berlaku hanya eksis di dalam komunitas ilmiah.
Poin kedua, asumsi yang mengawang di benak peneliti secara tidak langsung menjadi supra-struktur yang memengaruhi proses penelitian. Harapan untuk menghasilkan ilmu tanpa ilmuwan (science without scientists) tidak mungkin direalisasikan karena terdapat berbagai tradisi atau ideologi lainnya yang eksis dalam kenyataan sehari-hari, seperti seni, agama, mistik hingga magi.
Poin ketiga, klise bahwa pengetahuan ilmiah harus merupakan hasil dari verifikasi empirik atas hipotesis, berada di ranah struktur sekaligus supra-struktur. Klise tersebut menjadi struktur ketika terlembagakan dalam komunitas ilmiah, sedangkan menjadi supra-struktur ketika berada dalam individu ilmuwan. Klise tersebut berpotensi menggiring ilmu pada kondisi fasistik karena identitasnya yang menekankan pembuktian empiris. Pendapat ini diperkokoh oleh Suriasumantri yang mengatakan bahwa skeptisisme ilmuwan hanya dapat dipudarkan melalui proses logiko-hipotetiko-verifikatifxxxviii, padahal proses tersebut merupakan bagian dari praktik yang ditentukan dan standar yang berlaku dalam komunitas ilmiah, sehingga kebenaran yang dihasilkan harus selalu dtempatkan secara proporsional, yaitu dalam wilayah ilmu dan komunitas ilmuwan. Akan lebih baik apabila skeptisisme ilmuwan dibatasi hanya pada ruang lingkup kerjanya saja dan tidak dibawa ke dalam relasi inter-personal. Perluasan sikap skeptis ilmuwan hingga ke wilayah sosial justru menimbulkan kerumitan tersendiri, semisal konflik antara iman dengan ilmu.
Premis ketiga yang menekankan pada riset yang menarik tidak berarti sama dengan revisi yang melanggar standar. Revisi tersebut hanya menjadi bagian dari riset yang menarik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Feyerabend bahwa revisi yang tak terkira hanya sebatas menjadi kecenderungan mayoritas dari riset yang menarik, yaitu yang bersifat mengkritisi standarxxxix.
Premis keempat yang sekaligus menjadi heuristik negatif, Feyerabend tidak mengurai lebih lanjut mengenai standar bagaimana yang diterima pada fase tersebut. Menurut penulis, standar yang dimaksud ialah hasil dari revisi yang terjadi pada premis ketiga, karena anything goes merupakan pensifatan dari riset yang melanggar standar dan di dalamnya berlangsung praktik yang tak ditentukan, sesuai dengan premis keempat Feyerabend “…yang dapat kita katakan mengenai riset yang sedemikian rupa: anything goesxl. Pensifatan tersebut seringkali diabaikan oleh para sejarawan maupun filosof ilmu dalam mengevaluasi anything goes.
Pada bagian yang berbeda dalam SAFS, Feyerabend justru menyangkal anything goes sebagai representasi pendiriannya, akan tetapi lebih sebagai sindiran bagi kesulitan kaum rasionalisxli sekaligus sebagai prinsip yang tepat untuk ilmuwan yang bergantung pada prinsip yang sesuai dan independen dengan situasi, keadaan dunia, urgensi riset, serta keanehan temperamental. Feyerabend sendiri justru mengakui bahwa anything goes ini kosong, tidak berguna dan sangat menggelikan. Meski demikian, Feyerabend tetap yakin bahwa anything goes akan menjadi sebuah prinsip guna mengatasi pelbagai kondisi dan situasi yang tersebut di atas, terutama bagi ilmuwan yang tak dapat hidup tanpa panduanxlii. Kepercayaan Feyerabend mengenai eksistensi anything goes dapat diterima selama menjadi prinsip pensifatan atas relasi antartradisi pengetahuan maupun pengembangan metode keilmuan hanya dalam situasi dan kondisi yang fasis serta chauvinistis.
Persoalan yang muncul ialah: (1) apakah setiap ilmuwan akan menggunakan pragmatic philosophy ketika berinteraksi dalam segala tradisi ilmiah?; (2) kalaupun seorang ilmuwan menggunakan pragmatic philosophy, bukankah ini hanya berlangsung dalam kondisi darurat?; Feyerabend menyatakan bahwa prinsip-prinsip filosofis dari pragmatic philosophy seringkali muncul ketika berinteraksi. Terkait dengan hal ini, (3) bukankah ‘seringkali’ yang dalam Bahasa Inggris setara dengan often, tidak sama dengan ‘selalu’ yang setara dengan always? Tanpa disadari, Feyerabend masih membuka pintu kemungkinan bagi prinsip filosofis lainnya. Untuk menjawab tiga pertanyaan yang diajukan, akan lebih baik apabila ditinjau terlebih dahulu komentar beberapa orang mengenai anything goes.
Russell memosisikan anything goes sebagai “kata kunci” filsafat ilmu Feyerabendxliii. Selain itu, menurut Russell, Feyerabend menggunakan ekspresi anything goes untuk beberapa hal, di antaranya: (1) “menjumlahkan klaim negatif bahwasanya tidak ada kriteria rasional mengenai teori evaluasi dengan poin-poin positif yang mencairkan standar bermuatan-nilai (value-laden standards) yang biasa digunakan untuk mengevaluasi teori-teori”; dan (2) “bahwasanya pluralitas metodologi, termasuk relasi baru antara akal dan praktik, merupakan kondisi yang paling kondusif untuk perkembangan”xliv. Kemudian Russell juga memandang bahwa posisi anarkis epistemologis Feyerabend (anything goes) akan lebih persuasif jika pendekatan yang digunakan ialah secara sosiologis ketimbang menggunakan argumen abstrak melalui filsafatxlv.
Newall menganggap Feyerabend melalui anything goes justru melakukan reductio ad absurdum dengan bentuk yang sangat halus. Bagi Newall, Feyerabend menggeneralisir setiap tindakan pemikir rasionalis ketika menggunakan metodologi untuk meninjau sejarah ilmu. Ketika di satu sisi Feyerabend mengampanyekan anything goes, di sisi lain ia justru menganggap Methodology of Scientific Research Programmes yang diajukan Lakatos, layak untuk digunakan, dan sesuai dengan anarkisme epistemologisxlvi. Berseberangan dengan Newall, Tsou justru menyarankan agar anything goes seharusnya tidak dianggap sebagai rekomendasi metodologis positif dalam melaksanakan riset ilmiah, akan tetapi sebagai tantangan retoris bagi Kaum Rasionalis yang bersikeras pada keseragaman metode ilmuxlvii. Begitu pula dengan Staley yang tidak menganggap anything goes sebagai rekomendasi positivistik, namun lebih sebagai satu-satunya prinsip yang tersisa ketika seseorang bersikeras untuk mencari metodologi universal dalam bingkai sejarah ilmu. Akan tetapi, Staley lebih percaya kalau anything goes tidak jauh berbeda dengan “aturan-aturan yang cenderung hancur”xlviii. Perbedaan persepsi dari Newall, Tsou, maupun Staley membuka pintu kemungkinan refleksi baru mengenai anything goes.
Sedangkan Diah menggunakan standar ganda dalam menilai prinsip ini. Menurut Diah, anything goes mengandung tendensi positif sekaligus negatif. Anything goes bertendensi positif karena bertujuan menjaga ilmu dari validitas hukum dan aturan universal. Secara harfiah anything goes membiarkan segala sesuatu berlangsung, dan berjalan tanpa banyak aturan. Ia bukan metode namun lebih sebagai cara dan standar universal. Mengenai yang terakhir ini, Diah memberikan penilaian kontradiktif. Terlihat jelas dari penilaian Diah bahwa, “prinsip anything goes dan teori pengembangbiakan (proliferation theory) belum memadai bagi ilmu. Karena tidak ada standar yang pasti bagi metodologi ilmu di dalam prinsip anything goes dan teori pengembangbiakanxlix. Di satu sisi, Diah memosisikan anything goes sebagai “cara” dan “standar universal”, namun di sisi lain, ia juga mengungkap bahwa “tidak ada standar yang pasti” bagi metodologi ilmul. Barangkali akan lebih tepat jika “tidak ada standar yang pasti” dikoreksi menjadi “tidak ada standar positivistik”.
Dari beberapa uraian singkat di atas, muncul lima poin yang perlu digarisbawahi. Di antaranya, (1) anything goes inheren dengan anarkisme epistemologi. Anarkisme epistemologi, seperti yang ditekankan Feyerabend, merupakan obat bagi ilmu dan epistemologi. Layaknya obat pada umumnya, ia hanya digunakan ketika seseorang sakit. Dengan kata lain, anarkisme epistemologi ialah obat yang tepat diberikan untuk ilmu pada masa chauvinistis dan fasis, serta bersifat temporer. Maka (2) prinsip ini, seperti Staley dan Tsou, tidak bisa dianggap sebagai metodologi positif. Ilmuwan harus mencermati bahwa (3) anything goes membutuhkan pengandaian utama berupa premis 1 seperti yang tampil dalam diagram di atas. Struktur logis yang sedemikian rupa mengarah pada: (4) prinsip ini tidak berlaku untuk pelbagai situasi dan kondisi umum dalam bingkai ilmu maupun epistemologi. Selain itu, meski anything goes menjadi “kata kunci” dari gagasan filsafat ilmu Feyerabend, prinsip ini justru tidak disakralkan oleh Feyerabend karena keinginannya untuk menjadi seorang dadais, yaitu agar gagasannya tidak menjadi doktrin bagi orang lain. Kemudian, (5) anything goes tidak dapat digunakan dan digunakan secara longgar maupun arbitrer. Penggunaan anything goes mensyaratkan kondisi keilmuan yang fasistik atau chauvinistis.
Feyerabend kurang seksama dalam meyakinkan publik untuk memahami pragmatic philosophy sebagai komponen sekunder penopang anything goes, karena ‘seringkali’ tidak sama dengan ‘selalu’. Dengan kata lain, pragmatic philosophy tidak selalu digunakan seseorang ketika berada dalam situasi yang sulitli. Mengenai kekurangcermatan tersebut, menarik untuk menyimak komentar Rorty berikut:
“Tulisan Feyerabend sangatlah mirip dengan Pierce. Ketika kamu membaca salah satu buku Feyerabend, kamu akan seringkali merasa bingung karena keringkasannyalii, membingungkan, tidak cukup meyakinkan, argumen-argumen yang kelihatan tidak perlu justru disimpulkan secara berlebihan. Lebih parahnya, argumen-argumen ini seringkali dibungkus dengan beberapa contoh dalam fisika teknis dan seringkali dengan (dan, terkadang kita merasa, terkecoh) cerita-cerita sangat detail dari sejarah ilmu”liii.
Kelima poin tersebut menjadi panduan dalam mendedah ilmu. Dengan demikian, bagian berikutnya akan mengulas ilmu dalam dua bentuk, yaitu sebagai produk atau barang jadi yang kerapkali tereduksi menjadi teknologi dan metodologi, serta sebagai proses yang akan mengarah pada pemahaman ilmu sebagai bentuk pengetahuan sistematis yang selalu berproses.
Anything Goes dan Kebebasan Individu dalam Ilmu
Feyerabend menggagas anything goes melalui empat premis. Menurut penulis, premis pertama merupakan upaya membebaskan ilmuwan secara positif karena mengampanyekan pelanggaran terhadap standar. Dalam konteks tersebut, standar menjadi kekuatan sosial dan budaya yang mengekang dalam komunitas ilmuwan. Realisasi diri ilmuwan secara penuh tidak akan mencapai titik maksimal jika standar tidak dikritisi. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa konteks pelanggaran terhadap standar hanya berlaku pada situasi keilmuan yang fasis dan chauvinistis. Di luar konteks tersebut, anything goes hanya tinggal sebagai rekomendasi yang membebaskan secara negatif karena mensyaratkan situasi keilmuan tertentu yang dianggap mengekang ilmuwan; dan seringkali dipahami sekedar mengampanyekan ketiadaan hukum, metodologi maupun aturan dalam ilmu.
Premis kedua justru membatasi gerak ilmuwan karena mensyaratkan partisipasi hanya dalam praktik yang tak ditentukan dan tidak dapat ditentukan. Dengan kata lain, ilmuwan hanya mendapat kebebasan untuk melakukan riset dengan praktik yang tak ditentukan dan tidak dapat ditentukan, karena pengetahuan otentik yang diperoleh biasanya dihasilkan oleh praktik yang ditentukan dan dapat ditentukan. Premis tersebut membebaskan secara negatif karena ilmuwan hanya diberi kebebasan untuk melakukan praktik tertentu, akan tetapi, hal tersebut dilakukan demi mencapai kebebasan positif, yaitu sebagai bagian dari usaha untuk membebaskan ilmu dari fasisme dan chauvisnime.
Premis ketiga hanya menjadi konsekuensi dari premis pertama dan kedua, sedangkan premis keempat hanya menjadi konsekuensi dari ketiga premis sebelumnya. Dengan kata lain, anything goes, secara eksternal dan internal, mengandung dua dimensi kebebasan sekaligus. Perbedaan posisi tersebut harus dipertegas agar tidak menimbulkan kerancuan mengenai status kebebasan yang dikandung oleh anything goes.
Dalam dekade 70an Feyerabend menilai bahwa “banyak ilmuwan yang kekurangan ide, penuh ketakutan, asyik dengan memproduksi beberapa hasil penelitian yang remeh sehingga mereka hanya menambah limpahan paper yang tidak berarti yang sekarang dinyatakan sebagai “progres ilmiah” dalam banyak area”liv. Penilaian tersebut diperkuat oleh investigasi yang dilakukan oleh Broad dan Wade, keduanya berprofesi sebagai reporter The New York Times dan Times, bahwa Claudius Ptolemy, Galileo Galilei, Isaac Newton, John Dalton, Gregor Mendel hingga Robert Milikan melakukan kecurangan dan ketidakjujuran dalam laporan-laporan riset merekalv. Broad dan Wade mengindikasikan bahwa pangkal persoalan muncul dari ideologi ilmu itu sendiri. Untuk mengantisipasinya, bukan melalui kecurangan, akan tetapi dengan menghilangkan ideologi konvensional ilmulvi. Broad dan Wade menyatakan bahwa:
“ideologi tersebut jarang didiskusikan atau diuji, semuanya masih lebih kuat untuk menjadi implisit. Kebanyakan ilmuwan mungkin akan menyatakan bahwa ilmu tidak memiliki ideologi, bahwa ilmu itu sendiri adalah lawan dari ideologi. Akan tetapi ilmuwan pada kenyataannya memegang teguh pandangan tertentu mengenai profesi mereka, yaitu mengenai bagaimana ilmu seharusnya dioperasikan, tentang prosedur yang layak dan tidak layak dalam kerangka metodologi ilmiah. Pandangan ini sama dengan sebuah ideologi, karena mereka tidak sepenuhnya berasal dari fakta tetapi ditentukan oleh ideal-ideal yang sebelumnya telah diterima”lvii.
Dengan kata lain, ideologi konvensional yang dimaksud ialah kepercayaan bahwa ilmu tidak memiliki ideologi bahkan dianggap cenderung untuk memiliki sifat yang berbeda. Dengan demikian, kritik Feyerabend mendapat kontekstualisasi, yaitu ilmu merupakan salah satu bentuk ideologilviii. Hal tersebut mengekang kebebasan ilmuwan dalam mengembangkan ilmu. Dalam konteks tersebut, anything goes mendapat basis legitimasi.
Metode anything goes tidak menyinggung komunikasi sebagai medan yang sangat penting dalam keilmuan kontemporer. Ketika ilmuwan mengalami persoalan dengan penyebarluasan gagasan atau penemuan, maka prinsip anarkistis seperti anything goes tidak dapat digunakan sebagai obat yang mujarab, terlebih ketika dunia komunikasi dan informasi telah terlembagakan secara massif melalui media massa. Persoalan yang dihadapi Mueller dkk., dalam menyebarluaskan kritisisme terhadap teori relativitas misalnya, tidak dapat diselesaikan secara arbitrer dengan menggunakan metode anything goes, karena jalan yang paling efektif dan efisien ialah penyebarluasan melalui media massa.
Shrum dan Campion pernah meneliti mengenai kemungkinan isolasi ilmuwan di negara berkembang dari perkembangan ilmu secara global. Mereka percaya bahwa ilmuwan di negara yang sedang berkembang tidak terisolasi karena tetap bekerja secara lokal dan membangun jejaring di tingkat lokal, sedangkan isolasi di level internasional dapat diatasi melalui internetlix. Mueller dkk., dapat memanfaatkan internet sebagai media kampanye tetapi tidak menjamin akan mendapat respon yang signifikan apabila media massa memberikan kesempatan, terutama dari ilmuwan di negara berkembang yang memiliki akses internet relatif lebih lemah ketimbang ilmuwan di negara maju. Dengan kata lain, metode anything goes memiliki keterbatasan ketika berhadapan dengan persoalan komunikasi sebagai medan yang cukup penting dalam percaturan perkembangan ilmu.
Sifat elusif menyulitkan setiap orang untuk merumuskan kebebasan secara definitif, terutama dalam pengertian freedom. Hal tersebut berpengaruh pada metode anything goes, yang seringkali dianggap sebagai membebaskan oleh sebagian orang. Akan tetapi, anything goes memiliki sekurangnya dua dimensi yaitu eksternal dan internal yang masing-masing mengusung sifat kebebasan yang khas. Eksternalitas metode anything goes lebih dekat dengan makna kebebasan secara positif yang ditunjukkan dengan premis pertama, di mana setiap ilmuwan dan peneliti digiring untuk melakukan riset yang melanggar standar. Di sisi lain, internalitas metode anything goes berkait dengan makna kebebasan secara negatif yang ditunjukkan dengan premis kedua, di mana setiap ilmuwan dan peneliti hanya diperkenankan untuk melakukan praktik yang tak ditentukan dan tidak dapat ditentukan.
Anything Goes dan Pengembangan Ilmu di Indonesia
Ruang gerak prinsip anything goes terbatas karena anything goes inheren dengan anarkisme metodologi. Selain itu, anything goes juga tidak berlaku untuk pelbagai situasi dan kondisi umum dalam bingkai ilmu maupun epistemologi dan anything goes (bahkan anarkisme epistemologi) memang tidak bisa dimaknai dan digunakan secara longgar maupun arbitrer. Kehadiran anything goes dibutuhkan ketika ilmu sebagai produk mengalami fase fasistik, sesuai dengan rekomendasi Feyerabend bahwa anything goes dan anarkisme metodologi ialah obat bagi ilmu yang sedang sakit.
Namun perlu dicermati konteks ruang dan waktu penggunaan anything goes. Bagi masyarakat yang menghayati ilmu sebagai produsen sekaligus konsumen, relatif lebih mudah untuk melalui masa revolusi ilmu. Di sisi lain, masyarakat yang mayoritas hanya menghayati ilmu sebagai sekadar konsumen, relatif akan kesulitan untuk mengembangkan ilmu melalui anything goes. Dengan kata lain untuk ilmuwan di Indonesia, ketika ilmu menuju fase fasistik maupun revolusi, kemungkinan untuk memanfaatkan anything goes sebagai “resep” yang dianjurkan Feyerabend jauh lebih kecil. Terutama untuk bidang keilmuan eksakta yang sebagian besar progressnya diimpor. Proses ekspor-impor ilmu menyebabkan ketergantungan bagi negara seperti Indonesia, sehingga ketika menghadapi sebuah ilmu yang fasistik sekalipun, ilmuwan di Indonesia kerapkali terus menggantungkan kepercayaan pada ilmuwan di negara yang menghayati ilmu sebagai produsen sekaligus konsumen.
Sebuah contoh dapat diperoleh dari ranah humaniora seperti ilmu ekonomi. Secara global, ilmu ekonomi terbagi menjadi tiga mahzab utama, yaitu Liberal, Sosialis/Marxis dan Laissez-fairelx. Ketiganya memiliki interseksi namun juga memiliki ciri khas yang membedakan. Sedangkan di Indonesia sejak dekade 1970an berkembang gagasan mengenai Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila diklaim sebagai aplikasi dari Pancasila. Pengembangannya relatif berbeda dengan tiga aliran utama di atas. Mubyarto dkk., tidak terkooptasi oleh ketiga mode sistem ekonomi global. Bahkan, keragaman gagasan terlihat jelas dalam karya-karya Mubyarto, Sritua Arif, Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Revrisond Baswir hingga Hidayat Nataatmadja. Mereka mengembangkan gagasan Ekonomi Pancasila tanpa harus terkungkung oleh metode konvensional dalam teori ekonomi mainstream.
Gagasan mengenai Ekonomi Pancasila muncul ketika Mafia Berkeley dinilai akan gagal dalam mengimplementasikan pemerataan “kue pembangunan” yang diciptakan rezim Orde Baru. Kegagalan Mafia Berkeley dapat menimbulkan keraguan di benak para mahasiswa. Bahkan, tetap terbuka hadirnya pertanyaan seperti, “jika banyak sarjana ekonomi Indonesia yang memercayai mazhab liberal dan berkuasa di struktur pemerintahan, mengapa angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi?” Akan tetapi rezim tetap menaruh kuasa kepada Mafia Berkeley untuk mengatur perekonomian.
Sementara di sisi lain, para ekonom Pancasila, terus mengkritisi standar-standar teoritik dan praktik perekonomian Liberal seperti pengurangan subsidi negara terhadap sektor-sektor kerakyatan seperti pertanian, maritim dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hingga asumsi dasar mengenai manusia sebagai subjek sekaligus objek perekonomian, sejalan dengan semangat anything goes dalam mengembangkan teori ekonomi khas Indonesia. Akan tetapi para ekonom Pancasila tidak terkonsolidasikan dengan baik, sedangkan ekonom yang terlembagakan dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) lebih percaya pada sistem Ekonomi Liberal dan sebagian Laissez-faire. Hal tersebut diperparah dengan sistem dan kurikulum pendidikan ekonomi yang didominasi teori ekonomi Liberal dan Laissez-faire.
Pengkritisan terhadap standar teoritik dan praktik perekonomian Liberal oleh para Ekonom Pancasila tak akan maksimal jika tidak diiringi dengan penggiringan ilmu ekonomi hingga fase fasistik atau bahkan revolusi. Fase fasistik ilmu ekonomi, di tingkat global telah nampak seperti yang disinyalir Herry-Priyono bahwa neoliberalisme dengan Homo oeconomicus sebagai asumsi ontologis secara gamblang telah menyatakan bahwa bentuk perekonomian ideal ialah yang minimalis ala Libertarian dan sosok manusia ideal adalah pengusaha atau pebisnis. Menurut Herry-Priyono, neoliberalisme berambisi untuk merentangkan Homo oeconomicus ke segala bentuk relasi kehidupanlxi. Dengan kata lain, neoliberalisme dengan ambisi merentangkan prinsip-prinsip pasar ke segala relasi kehidupan berpotensi besar menggiring ilmu ekonomi pada posisi fasistik atau bahkan revolusi, karena ambisinya yang melampaui sekat keilmuan, tradisi pengetahuan selain ilmu, hingga seluruh aspek kehidupan.
Situasi dan kondisi yang sedemikian rupa, ditambah dengan tradisi ilmu ekonomi khas Indonesia yang belum mengakar, semakin mempersulit penggunaan anything goes sebagai resep untuk mengobati ilmu ekonomi yang fasistik. Akan tetapi, melalui anything goes dan premis penyusunnya serta Pancasila sebagai basis epistemik, para ekonom dapat mengembangkan serta mengimplementasikan Ekonomi Pancasila bukan sebagai alternatif pilihan seperti yang selama ini didengungkan, akan tetapi lebih sebagai gagasan orisinil yang berakar pada dasar negara sehingga memberikan legitimasi yang sangat kuat untuk dilaksanakan oleh pemerintah melalui kebijakan perekonomian negara.
Riset yang mengkritisi standar ilmu ekonomi Liberal dan Laissez-faire harus terus dilakukan dan dipopulerkan oleh para ekonom Pancasila. Hasil dari riset tersebut akan menjadi sesuatu yang menarik apabila dapat mendorong revisi yang tak terkira dari ilmu ekonomi Liberal dan Laissez-faire. Potensi untuk melakukan revisi yang tak terkira semakin besar terutama dengan diakuinya konsep Gramen Bank yang dilaksanakan Muhammad Yunus di Bangladesh hingga diberi hadiah Nobel Perdamaian. Dalam beberapa hal, gagasan Yunus mirip dengan Mubyarto, namun persoalan tersebut berada di luar kapasitas penelitian ini.
Pembedaan ilmu secara terminologis, seperti yang diberikan oleh Suriasumantri, dan secara etimologis berimplikasi pada pemaknaan ilmuwan dan publik terhadap ilmu. Pemaknaan tersebut lebih tepat jika mengarah pada pemahaman bahwa ilmu ialah entitas yang berwajah ganda, dengan penekanan pada proses yang selalu melekat pada usaha pengembangan ilmu ketimbang sebagai barang jadi yang lebih unggul daripada mode pengetahuan lain.
Penutup
Sebagai penutup, maka akan ditarik kesimpulan sebagai bagian dari usaha untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini. Ilmu ialah bentuk pengetahuan sistematis yang memiliki wajah ganda, yang lebih tepat jika dipahami sebagai sesuatu yang berproses dalam gerak sejarah daripada sebagai barang jadi yang paling unggul. Kebebasan individu memiliki sifat elusif dan terbagi menjadi dua pengertian yaitu secara positif dan negatif yang memiliki keterbatasan tertentu.
Anything goes sebagai sudut pandang penelitian berada di dua ranah kebebasan. Sisi eksternal anything goes berkait dengan kebebasan positif dan sisi internal berkait dengan kebebasan negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam perspektif anything goes, ilmu dapat meningkatkan kebebasan individu dengan situasi yang unik dan khas karena terkait dengan pemaknaan terhadap ilmu yang berwajah ganda maupun sifat kebebasan individu yang elusif dan terbagi menjadi dua hal, yaitu secara positif dan negatif.
Catatan akhir:
i Alumnus Fakultas Filsafat UGM tahun 2008 dan ketika kuliah pernah menjadi pembicara dalam ISWI Conference di Technische Universität (TU) Ilmenau, Thuringen, Jerman, pada musim panas tahun 2007. Tulisan ini adalah ringkasan skripsi di Fakultas Filsafat UGM di bawah bimbingan Sonjoruri B. Trisakti. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Sonjoruri B. Trisakti, Indi Aunullah, Rizal Mustansyir, Sindung Tjahyadi, dan Heri Santoso yang telah memberikan masukan yang menarik dalam versi utuh penelitian ini. Segala kebaikan tidak terlepas dari kontribusi mereka sedangkan kekurangan menjadi tanggungjawab penulis.
ii Ernst Cassirer, The Philosophy of Enlightenment (translated by Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove, New Jersey: Princeton University Press, 1951), halaman 5.
iii Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan (terjemahan Ahmad Sahidah, Yogyakarta: Ircisod, 2002), halaman 5.
iv Christopher J. Berry, “Human Nature, Science of, In The 18th Century”, Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), halaman 364.
v Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, op.cit., halaman 1 dan 30.
vi Ian Shapiro, Asas Moral dalam Politik (terjemahan Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto, Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta bekerja sama dengan Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006), halaman 165.
vii Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), halaman 334.
viii Paul Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: Verso, 1978), halaman 32 dan 296.
ix Ibid, halaman 23 dan 28.
x Ibid, halaman 27.
xi Ibid, halaman 32.
xii Ibid, halaman 32-3.
xiii C. A. van Peursen, , Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu (terjemahan J. Drost, Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia, 1985), halaman 90.
xiv Paul Feyerabend, op.cit., halaman 297-8.
xv Paul Feyerabend, Three Dialogues on Knowledge (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1991), halaman 113.
xvi Paul Feyerabend, op.cit., halaman 44-5.
xvii Sahabatnya yang sama-sama mengajar di London School of Economics, namun meninggal terlebih dahulu sehingga membuat shock Feyerabend. Dengan meninggalnya Lakatos, maka niatan mereka untuk membuat For and Against Method gagal di tengah jalan. For and Against Method ialah calon buku yang akan berisi dialog pemikiran mereka berdua mengenai ilmu dan metode. Di kemudian hari, Matteo Motterlini menyediakan diri untuk mengedit naskah ini sehingga bisa diterbitkan pada tahun 1999 oleh University of Chicago Press.
xviii Asumsi Feyerabend mengenai hal ini bisa diperoleh dalam Paul Feyerabend, Science in A Free Society (Fourth Impression, London: Verso, 1987) halaman 24.
xix Heuristik secara etimologis berasal dari kata hereuskein dalam bahasa Yunani yang berarti menemukan. Silahkan periksa Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan ketiga, 2002), halaman 284. Sedangkan C. A van Peursen menjelaskan bahwasanya, “adapun heuristik itu ialah teori menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah”. Lihat C. A. van Peursen, op.cit., halaman 97.
xx Paul Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: Verso, 1978), halaman 186-7.
xxi Ibid, halaman 33. Sedangkan research-programmism adalah gagasan Imre Lakatos. Untuk lebih jelasnya mengenai research programmes, heuristik negatif dan heuristik positif, silahkan periksa Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes”, Imre Lakatos & Alan Musgrave (eds.), Criticism and the Growth of Knowledge: Proceedings of the International Colloquium in the Philosophy of Science, London, 1965, Volume 4 (London: Cambridge University Press, 1970) halaman 132-38. Sebagai pengantar yang lebih mudah, bisa dibaca A. F. Chalmers, Apa itu yang Dinamakan Ilmu?: Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (terjemahan redaksi Hasta Mitra, Jakarta: Hasta Mitra, 1983) halaman 81-92.
xxii Paul Feyerabend, Science in A Free Society (Fourth Impression, London: Verso, 1987) halaman 27-40.
xxiii Kedua hal ini mengarah pada kecenderungan alamiah yang mungkin dapat digunakan peneliti. Deskripsi yang lebih komprehensif dapat diperoleh dari Paul Feyerabend, ibid, halaman 27-40.
xxiv Ibid, halaman 39-40.
xxv Ibid, halaman 39.
xxvi Imre Lakatos, op.cit., halaman 132.
xxvii Ibid, halaman 135.
xxviii Ibid, halaman 175.
xxix Paul Feyerabend, op.cit., halaman 34.
xxx Paul Feyerabend, loc.cit.
xxxi Bagi Feyerabend, sebagai instrumen pengukur intelektualitas, standar harus seringkali dikreasikan (invented). Paul Feyerabend, ibid, halaman 29.
xxxii Paul Feyerabend, ibid, halaman 37.
xxxiii Ibid, halaman 38.
xxxiv Feyerabend tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai pragmatic philosophy. Ia hanya mencontohkan bagaimana seorang prajurit kejam lebih memilih untuk mengobati ketimbang membunuh musuh perangnya. Menurut Feyerabend, terkadang prajurit tersebut tidak mengerti mengapa dirinya bertindak sedemikian rupa. Bagi Feyerabend, prajurit tersebut telah mencontohkan upaya pembangunan era baru, yaitu bangsa masing-masing prajurit dapat bekerjasama melalui perdagangan setelah perang berakhir. Paul Feyerabend, ibid, halaman 28-9.
xxxv Ibid, halaman 28.
xxxvi John Dewey, The Question for Certainty: A Study of the Relation of Knowledge and Action (Ninth Impression, Edinburg: Capricorn Books Edition, 1960), halaman 251.
xxxvii Saya tidak membedakan keduanya karena memiliki makna yang hampir sama. Pemosisian yang sedemikian rupa juga diperkuat dengan Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik: Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa Ini, (Jakarta: P. T. Gramedia, 1986) halaman 7, 19, 159, 213.
xxxviii Jujun S. Suriasumantri, “Pembangunan Manusia Seutuhnya: Beberapa Pokok Pikiran Keilmuan”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik: Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa Ini (Jakarta: Penerbit P. T. Gramedia, 1986), halaman 213.
xxxix Paul Feyerabend, op.cit., halaman 39-40.
xl Ibid, halaman 39.
xli Frase yang digunakan Feyerabend ialah jocular summary of the predicament of the rationalist.
xlii Ibid, halaman 188.
xliii Denise Russell, “Anything Goes”, Social Studies of Science, (London: SAGE) Vol. 13, No. 3. (Aug., 1983), halaman 437.
xliv Ibid, halaman 440.
xlv Ibid, halaman 457.
xlvi Paul Feyerabend, How To Defend Society Against Science, 1975, diperoleh melalui http://www.galilean-library.org/feyerabend1.html diakses pada 16 November 2006.
xlvii Jonathan Y. Tsou, “Reconsidering Feyerabend’s ‘Anarchism’”, Perspectives on Science (The Massachusetts Institute of Technology, Vol 11, No. 2, 2003), halaman 216.
xlviii Staley, “Logic, Liberty, and Anarchy: Mill and Feyerabend on Scientific Method”, Social Science Journal, Vol. 36, Issue 4, 1999, halaman 1-2.
xlix Indayani Diah, Anarkisme Epistemologi: Kritik Paul K. Feyerabend atas Metode dan Praktek Ilmu (Skripsi Fakultas Filsafat UGM, tidak diterbitkan, 1995), halaman 92.
l Ibid, halaman 88.
li Terkait dengan contoh seorang prajurit kejam yang tanpa ia sadari justru membantu musuhnya ketimbang membunuhnya. Contoh ini pun kurang tepat untuk menjelaskan pragmatic philosophy, namun tetap digunakan Feyerabend.
lii Salah satu keringkasannya dapat dilihat dalam AM. Paragraf pertama sub bab ini menunjukkan Feyerabend hanya tujuh kali menyebut anything goes dalam AM. Justru dalam SAFS Feyerabend lebih banyak mengeksplorasi prinsip ini.
liii Richard Rorty, “Untruth and consequences – Killing Time: The Autobiography of Paul Feyerabend”, The New Republic; Jul 31, 1995; halaman 34.
liv Paul Feyerabend, loc.cit.
lv William Broad and Nicholas Wade, Betrayers of the Truth (New York: Simon & Schuster, Inc., 1982), halaman 22-23.
lvi Ibid, halaman 212.
lvii Ibid, halaman 129.
lviii Paul Feyerabend, Science in A Free Society (Fourth Impression, London: Verso, 1987) halaman halaman 106-7.
lix Wesley Shrum and Patricia Campion, “Are Scientists in Developing Countries Isolated?”, Science Technology Society, Vol. 5, Issue 1, 2005, halaman 27.
lx Pembagian tersebut seiring dengan pembedaan di wilayah politik yaitu liberal, sosialis/marxis, dan libertarian.
lxi B. Herry-Priyono, Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan, Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), 10 November 2006, halaman 5-9.


Qusthan Abqary
Penulis adalah Mahasiswa Alumni Fakultas Filsafat UGM
Tulisan dimuat di Blog Pribadi

Rabu, 02 Maret 2011

Pesantren di Persimpangan Kultur dan Modernitas